Monday, June 15, 2009

Luruh

Daun kenari terakhir luruh, terayun angin dan terbawa pergi. Aku tak sengaja menggoyang dahan kenari yang sedang meranggas disisi jendelaku, hingga daun itu terenggut dari dahannya. Sungguh, aku tak berniat mengacaukannya, aku justru berniat menikmati luruhnya dahan itu karena angin, bukan karenaku.

Sudah seminggu ini aku melewatkan senja yang selalu terbingkai manis di jendela kamarku. Aku biasa menikmatinya sambil duduk di bibir jendela, ditemani secangkir lemon tea hangat. Membiarkan kedua kakiku menggantung bebas dan berayun di udara, meski kadang dadaku berdesir karena aku selalu takut ketinggian, tapi aku selalu sungguh-sungguh menikmatinya.

Sudah seminggu ini aku sibuk karena kau. Tidak, sebenarnya tidak seperti itu! Yang sebenarnya adalah aku sibuk karena diriku sendiri, hatiku tepatnya. Soal harapan yang melambung, soal rasa yang salah dan soal cinta yang tak bersambut. Aku mengalami aneka rasa yang silih berganti menyesaki dada. Dan aku tak kuasa menumpahkannya, tak tahu harus membaginya pada siapa lagi. Keluh kesah yang terucap dalam doa belum juga mengenyahkan semuanya.

Aku sadar sedari awal, kepergianmu hanya tinggal waktu. Seperti juga yang lain, akupun tak pernah bisa menerima kehilangan. Sekalipun itu hanya sepihak, sekalipun perasaan memiliki itu hanya aku yang merasakan. Aku memang tak bisa meyakinkanmu sejak awal, bahwa cinta yang kumiliki adalah cinta yang kau cari. Bahwa cinta yang kupunya bisa memuaskan dahagamu akan bahagia. Tapi kau tak cukup dengan itu dan aku tak bisa menjanjikan lebih dari itu.

Dalam hitungan hari kau akan pergi, aku begitu yakin kau akan pergi selamanya. Jangan takutkan aku, semuanya akan baik-baik saja disini. Kumohon, jangan pernah mengingatku lagi karena sejak hari ini akupun tak ingin mengingatmu lagi. Kau seperti daun luruh, terbang tersapu angin, jauh mengembara dan tak kembali!

(Curhat colongan; X, saatnya kau cari lagi…ayo semangat!)

at 1:15 AM 0 comments

Thursday, June 04, 2009

Pergilah Cinta

Kenapa kau pilih tempat ini? Sepi di ujung kota berlatar senja jingga. Kau tahu memainkan perasaanku karena di tempat ini rasaku selalu luruh. Tempat yang kadang menertawakan diamku yang penuh pengecut. Tempat yang kadang mengumpati tangisku yang tak pantas. Tempat yang kadang meronakan ceria saat aku berniat jujur mengakui perasaanku padamu. Sayangnya, pengakuan itu tak pernah terucap.

" Kau selalu memilih tempat ini." ucapku, lebih pada diri sendiri.
"Tempat yang tidak romantis, tapi aku suka. Dan kau satu-satunya orang yang bisa menerima ketidakromantisanku." tawamu getir, khas dirimu bilang sedang dihimpit masalah.
" Ada apa? Soal dia lagi?" pertanyaan basi yang selalu terlontar bila kita bertemu.
Kau diam sesaat," Ya, soal dia lagi. Kuharap kau tak bosan mendengarnya."
"Kapan aku pernah bosan mendengarkanmu?"

Kau tersenyum samar," Terima kasih. Kau tahu, akhir-akhir ini aku banyak berpikir tentang kita. Tentang betapa bodohnya aku. Tentang keberadaanmu yang selalu menguatkan, yang selalu kubutuhkan nyaris seperti bayanganku sendiri. Begitu lekat namun banyak kuabaikan."
" Kamu tak bermaksud putus darinya bukan?" ah, andai kau ungkapkan setahun yang lalu, akan lain ceritanya!

Kau mengangguk, anggukan dalam yang belum pernah kulihat," Aku akan putus dan aku akan pergi."
" Maksudmu?" kata pergi serasa menyengat, kehilanganmu adalah hal terakhir yang mungkin bisa kupikirkan selama ini.
" Aku akan putus, rencananya besok. Aku sudah memikirkannya dalam. dan itu yang terbaik. Kepergianku bukan karena dia, aku pasti bisa melupakannya segera, aku pergi karena.." riak sendu menghentikanmu," aku pergi karena kau."

Aku merengkuhnya," Apa yang kau katakan pasti hanya gurauan."
" Pernahkah aku bisa melewati hari tanpamu? Kau tempatku meluapkan resah, berbagi tawa dan diam. Adakah orang yang bisa begitu mengerti aku selain kau? Bahkan aku sendiri tidak sedemikian mengerti diriku sendiri."
" Kau tetap bisa berbagi semuanya denganku, sampai kapanpun." hiburku.
" Keadaan berkembang tanpa bisa kuduga, aku mencintaimu. Sungguh! Jauh sebelum kita punya kehidupan cinta sendiri. Aku curang selama ini, aku sakiti diriku sendiri dengan mencoba mengingkari rasa ini. Tapi penyesalan selalu terlambat. Sekarang semua berbeda, aku sendiri dan kau bersamanya. Aku tak bisa pura-pura bahagia melihat kau bersamanya. Dan aku juga tak tega menghancurkan kebahagiaan kalian, itu sama artinya aku menyakiti diri sendiri."


Aku memeluknya, merasai cinta yang sama kurasakan dari degup jantungnya," Kalau semua bisa diulang lagi? Aku yang pantas disebut pengecut, seorang laki-laki harusnya memperjuangkan cinta lalu menyempurnakannya. Tapi yang kulakukan justru mencoba mengingkarimu dan mencoba mencintai yang lain. Aku sudah tidak bisa melangkah mundur, karena akan melukai hatinya. Apakah kita akan bahagia bila ada hati yang tersakiti?"

Kau menggeleng tegas dan dengan pelan kau lepaskan pelukanku," Senja ini akan jadi senja terakhir kita."
" Senja kita tak pernah berakhir, selalu ada dalam hati. Patrikan aku dalam langkah-langkahmu nanti. Andai aku bisa..."
" Jangan berandai-andai...semuanya sudah terlambat. Kau baik-baik saja ya dengannya. Jaga dia sebaik kau menjagaku. Kau mau berjanji untuk itu?" pintamu lirih namun tegas.
" Akan kulakukan sebaik kumampu." teriakanku menggema dalam hati, menyesali semua yang terlambat.

Ah..senja jingga ini terasa makin pekat dan menghitam!

Tak bisa kubersama, walau cintaku masih ada
Ada kalaku, kumerasa lebih baik kau bersamanya
Hati ini berkata, jangan sakiti cintanya
Karena kau tahu yang sebenarnya, diriku tak sebaik dirinya

Pergilah cinta, bukan ku tak inginkanmu
Akan lebih baik jika ku tak bersamanya
Pergilah cinta, hanya Tuhan yang bisa mengerti akan isi hatiku
Tak bisa aku sempurnakan cintanya

Salahkah diriku? Pergilah bersamanya
(Chandra -"Pergilah Cinta")

at 2:17 AM 1 comments

  • didats