Wednesday, March 18, 2009

Tak Kubaca Firasatmu

Di titik ini, apakah aku harus memutar dan kembali? Aku sudah mengucapkan satu mantra untuk setiap langkah agar sampai disini, yang berarti milyaran mantra telah aku ucapkan sepanjang perjalanan. Kau mau tahu, apa mantra yang begitu digdaya hingga sanggup membawaku kesini? Sederhana saja, namamu! Ya, aku selalu menyebut namamu sepanjang perjalanan.

Tapi, yang kurasakan sepanjang perjalanan adalah kosong. Sesal itu menggurita hingga mengosongkan segala hal dari benakku. Beberapa jam setelah burung besi ini meliuk- membelah angkasa dan menuju ke arahmu, aku mulai menggigil. Ketakutanku bukan pada kemarahanmu tapi pada cintamu yang selama beberapa tahun terakhir ini kuabaikan. Ah, aku telah banyak melewatkan hidup tanpa kau, hal yang tak seharusnya kulakukan.

Aku seharusnya kembali dua tahun lalu, atau mungkin bertahun-tahun sebelumnya. Entahlah, sulit bagiku untuk bisa menghitung waktu bila hal itu terkait tentang kita. Tapi, kedatangan tiga suratmu secara beruntun, membuatku jengah dan berpikir untuk pulang. Entah apa yang membuatmu enggan berkirim sms, e-mail atau telepon. Mungkin pesan yang singkat tidak cukup untuk menyakinkanku atau kata-kata yang terdengar di ujung telepon tidak cukup menggetarkan hatiku.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, tapi tulisan indahmu pada surat itu kembali membangkitkan kenangan tentangmu. Maaf, selama beberapa tahun hidup di seberang, aku memang sengaja menafikanmu. Sangat menyiksa memang, tapi itu hal yang harus kulakukan agar kita berdua bisa melanjutkan hidup. Dan akhirnya aku menikmatinya. Tak ada lagi bayanganmu di selasar jalan yang kulewati, tak ada dirimu yang singgah dalam mimpiku, bahkan dalam lamunanku-tak sedikitpun terlintas dirimu.

Dalam surat itu, kau meminta hal yang sederhana,” pulanglah atau kau tidak akan pernah melihatku lagi”. Kau bukan orang yang suka mengancam, tapi kalimat itu terasa bagai ribuan watt yang menyengat kesadaranku. Aku memikirkannya, tapi tidak serta merta memicu niatku untuk pulang. Setelah surat ketiga, aku sadar apa yang harus segera kulakukan. Aku harus pulang!

Firasat! Ya, harusnya aku menangkap isyarat alam yang mencoba mengabarkan berita dirimu. Aku sudah bebal, negeri empat musim ini telah menjauhkanku dari kehalusan nurani untuk bisa membaca bahasa alam. Dan bodohnya, aku tak menyadarinya.

Saat taksi membawaku menuju rumahmu, mendung menggelapkan langit Jakarta yang biasanya panas. Mendung memang selalu muram, tapi yang kulihat serupa kesedihan di wajah ayumu. Wajah yang baru bisa kulukis setiap lekuknya saat kujejakkan kakiku kembali disini. Aku berharap, semoga itu hanya mendung penanda hujan akan turun, bukan airmata yang sebentar lagi akan meruah dari langit.

Kamboja merah di depan rumahmu sedang meranggas, sebuah anomali yang aneh karena saat ini musim hujan sedang memuncak. Ibumu serta merta memelukku, hingga cukup untuk menyadari kalau bahunya terguncang hebat. Aku membimbingnya kembali ke dalam rumah, tapi dia menolak halus dan memintaku kembali ke taksi yang belum beranjak dari halaman rumahmu.” Ayo, kau pasti sudah kangen dengan bidadarimu.”kata ibumu. Kami berdua kembali ke dalam taksi untuk menyemputmu.

Aku tak sanggup berdiri, seluruh keangkuhanku luruh. Yang kujumpai bukan kau, bukan bidadariku. Yang kujumpai pusaramu! Pada nisan itu tertulis hari yang sama, hari dimana aku menerima surat ketigamu. Ah, mengapa aku terlambat membaca firasat itu!

” Pernikahannya dua tahun lalu, ibu anggap sebagai kemenangan karena akhirnya bisa memisahkan kalian. Pernikahan itu, ibu yakin sebagai pilihan terbaik. Tapi itu justru jadi neraka baginya. Dia tidak pernah bahagia dengan pernikahan itu. Kau telah memenangkan hatinya.”

Rasa sesalku memang tak perlu, takkan mengubah kenyataan kalau aku adalah pengecut! Apa yang selama ini kuagungkan sebagai perjuangan bagi cinta kami, ternyata hanya tindakan kosong tak bermakna. Aku memang telah mencapai mimpi-mimpi kecilku untuk menjadi orang hebat, tapi aku lupa pada janji masa kecil kami untuk selalu bersama. Ah, bodohnya aku!

” Dia menitipkan ini untukmu.” Ibu memberikan casket mahoni itu saat aku pamit untuk pulang. Cuti dua minggu akhirnya kupersingkat, sifat pengecutku tak sanggup menghadapi rasa kehilangan itu.

” Kalau kau tak lagi menginginkannya, buanglah. Ibu tak mau membebanimu dengan rasa bersalah. Dia sudah damai disana, dan kau-pun harus melanjutkan hidupmu. Sekali lagi, maafkan Ibu.”
Aku menerimanya tanpa kata, seketika semua kisah kita bagai terpendar di langit, menyapukan warna yang muram dan sendu. Aku memeluk ibumu erat, kuharap bukan untuk terakhir kalinya, tapi aku yakin, aku takkan pernah sanggup untuk kembali ke tempat ini.

Dua foto usang kita, sepasang cincin dari bunga rumput yang hampir rapuh, dan sepasang sayap kupu-kupu kering yang kita tangkap di taman belakang rumahmu adalah benda-benda yang berada di kotak itu. Kau menyimpan semuanya dengan rapi.

Aku tak ingin membuangnya, takkan pernah sanggup.Aku memeluk kotak itu erat, rasa hangat yang menular didadaku membantuku terlelap. Dan sepanjang perjalanan, aku bermimpi tentang cinta masa kecil kita yang indah. Tentang keinginanmu untuk menjadi sayap bagiku agar aku bisa terbang dan melihat seluruh dunia. Tentang cincin yang kujalin dari bunga rumput saat kita main pengantin-pengantinan. Tentang semua hal yang pernah kita ikrarkan untuk masa depan kita.

Aku sadar, berpegang pada masa lalu tidaklah menggenapkan hidupku. Tapi dengan berpegang pada kenangan indah kita, aku belajar lagi bagaimana dicintai, mencintai dan memperjuangkan cinta itu.

(Curhat colongan saat online, pertengahan Januari 2009)

at 7:45 PM 1 comments

Wednesday, March 11, 2009

Kau Selalu Tahu

Kau selalu tahu arah pulang karena aku adalah kompasmu. Arah yang menuntunmu tanpa tersesat, yang memberimu perasaan aman sepanjang perjalanan. Mestinya kau selalu menuju ke arahku, tapi mengapa tak?

Kau selalu tahu tempat nyaman untuk berteduh karena aku adalah rumahmu. Sebuah rumah yang kujaga agar tetap hangat dan nyaman saat kau singgahi. Mestinya kau datang dalam dekap hangatku, tapi mengapa tak?

Kau selalu tahu tempat menghirup kesegaran karena aku adalah mata airmu. Yang tak kering saat kemarau memuncak dan tak menggenang saat hujan tercurah. Yang membuatmu segar dan ranum kembali setelah kau meminumnya. Mestinya kau sertakan aku saat melewati hari-hari panjangmu, tapi mengapa tak?

Aku mungkin bodoh dan naïf, seringnya merancau di tengah malam, memimpikan kau menyimpanku sebagai kompas, menyinggahiku sebagai rumah dan meminumku untuk mengurai dahagamu.

Nyatanya, kau tak pernah menginginkanku sebagai apapun.

Tapi…

Kau akan tahu, kalau cintaku tak berbanding, kesabaranku tak terukur, penantianku tak bertepi.

Kau akan tahu, aku mengerti dirimu melebihi pengertianku pada diriku sendiri.

Kau akan tahu, aku mencintaimu sangat.

Meski harus kurelakan kau tak untuk kumiliki!

at 8:11 PM 0 comments

  • didats