Sunday, November 05, 2006

8 MuSiM

......Aku tak bisa bicara lagi, aku betul-betul tak bisa. aku tahu aku tidak terbuka. aku harap aku bisa menjelaskan. tapi aku tak bisa. Karena siapa kau dan siapa aku. aku tak bisa.aku minta maaf........
(AIB- J.M.Coetzee, 227-228)



sudah seminggu ini hembus angin lebih dingin. daun-daun menguning, luluh. siap menyongsong musim dingin yang panjang. pohon di sepanjang jalan telah meranggas, tinggal dahan-dahan lentik yang bersiap mati suri, menunggu cumbuan salju yang akan datang tak lama lagi.


aku menikmati semuanya dengan getir. di balik jendela apartemenmu, aku duduk meringkuk sambil mengenggam Cappuccino Illy yang telah dingin-tanpa sedikitpun kusentuh. kau ada disisiku, melakukan hal yang sama.membisu! hanya napas halusmu yang berirama, seperti elegi yang mengurung nalarku.


aku mencoba mengingat saat pertama kali kita bertemu. aku menjemputmu di bandara, berbekal foto dari kekasihku yang juga sahabatmu. kau menyambut uluran tanganku dengan ragu. kau persis seperti gambarannya; berkulit gelap, lebih pendek dariku, kurang percaya diri dan sedikit introvet. kau jelas bukan tipeku, kekasihku memiliki banyak hal yang lebih darimu. jangan tertawa dulu! itulah kesanku saat pertama bertemu denganmu.


kau tahu, akhirnya aku menyesali kata-kataku sendiri. 1001 hal yang kekasihku katakan tentangmu-benar adanya. aku sekuat hati menepis kekaguman yang datang dengan lembut dan perlahan menjadi cinta yang menggelora. demi kekasihku, aku berjuang agar api asmara itu padam.


kau bukan anggur yang memabukkan, tapi air yang mampu melepaskan dahaga dan selalu menjadi kebutuhan. sekeras apapun aku menolak pesonamu, aku tetap kalah. aku bahkan siap kehilangan dirinya demi dirimu.


kau sempat menjauh, menyesal karena ada di antara aku dan dia. tak ada yang salah dengan dirimu, tak ada yang perlu kau sesali. kau tak pernah merayuku, kau tak menjanjikan apapun padaku. kedamaian saat bersamamulah yang membuatku memutuskan; hanya dirimulah yang kuinginkan.


butuh waktu satu musim untuk meyakinkanmu bahwa cintaku bukan gurauan. bukan tuntutan atas apa yang telah kulakukan untukmu. aku tahu, telah memberimu dilema-membuatmu kehilangan sahabat. tapi bukankah untuk mendapatkan cintamu, aku juga kehilangan dia?


hanya delapan musim aku berhak atas dirimu, selalu kucoba mengacuhkan perpisahan yang tak terhindarkan. aku berharap, waktu mengacuhkan kita dan lupa untuk memintamu pulang! tapi waktu tak pernah lupa! sejak seminggu lalu, aku membuang semua almanak dikamarku, menanggalkan jam di dinding, mematikan jam weker di sisi ranjangku dan sengaja kubuat salah penunjuk waktu di hp-ku. aku takut menghitung waktu.


sejak dua hari lalu, aku membantumu mengemasi barang-barangmu- seperti mengemas kenanganmu dari hatiku. kita tak banyak bicara. tapi tatapan, sentuhan tak sengaja saat aku membantumu menurunkan beberapa lukisan, seperti sengatan listrik ribuan watt yang membuatku tak berdaya. aku harus berkali-kali menggigit bibir, mengalihkan rasa panas yang menyergap sudut mataku. aku tak boleh menangis!


kata "perpisahan" telah mengepungmu,mengekang kadar humormu hingga tersisa diam yang panjang, menyurutkan celotehmu yang tak henti saat kita biasa mendebatkan sesuatu. bahkan sendawan yang sering mengganggumu, dua hari ini menghilang dari dirimu! betapa aku merindukan semua itu.
kau tahu apa yang berkecambuk dihatiku tanpa berusaha meredakannya. tapi untuk apa? kau sendiri harus meredakan galaumu, yang telah membuatmu kehilangan keriangan.
" kau lihat garis jingga itu!"telunjukmu menunjuk senja yang turun, yang terlihat muram dimataku," besok aku akan pergi ke arahnya."
kau memintaku lebih mendekat, kau berikan bahumu untuk bersandar. sementara tangan kirimu mencari tangan kananku untuk kau genggam. kemudian, kau tekan erat-mencoba mengalirkan kehangatan. akhirnya kau membawanya ke dadamu.
" andai aku bisa membawamu pulang." bisikmu getir.
" aku tahu, aku tak pernah meminta itu, Tuhan memberiku waktu delapan musim, aku harus merasa cukup dengan itu."

" kalau saja aku bisa tinggal dan menyelesaikan semuanya."

" kau sudah melakukan semua hal indah untukku, tak ada yang harus dikerjakan lagi. pulanglah, rumahmu bukan disini."
" maafkan aku." suaramu bergetar, napasmu tersengal, setelah delapan musim akhirnya kulihat kau menangis," besok jangan mengantarku, aku takkan sanggup."
aku menolak, memintamu dengan sangat. tapi kau tetap melarang. aku tahu ini terlalu berat bagimu, juga aku. akhirnya aku mengiyakan.
sepanjang sisa malam, aku kembali menghabiskan dua Cappuccino Illy- aku tak ingin jatuh tertidur agar puas memandangmu untuk terakhir kali. kubiarkan dirimu tetap menggenggam tanganku-saat kau benar-benar terlelap-kulepaskan genggamanmu. kurapatkan selimut ditubuhmu. aku tak lagi menyembunyikan carut-marut rasaku.aku menangis!
delapan musim lebih satu hari, aku memandang senja di tempat yang sama-merapatkan syal untuk mengusir dingin yang menggigit. ruanganmu telah kosong, tinggal satu kotak yang kau tinggalkan agar aku menyimpannya. mataku tak beranjak dari jendela, menunggu burung besi benar-benar membelah jingga dan membawamu pergi.
aku tak berani menghitung karena setiap detik adalah bilangan kehilangan yang akan terakumulasi. saat aku benar-benar melihatnya, aku tak lagi menangis. meskipun sebagian diriku telah hilang!!!
.......hidupku lebih penuh dan lebih istimewa daripada yang pernah kuidamkan. aku sudah melihat dan mengalami hal-hal yang bahkan takkan terpikir oleh banyak orang, dan aku anggap diriku diberkati karenanya. jangan menangisiku, karena aku takkan menangis. tak ada yang kusesali.....
(Peter O'Connor - Gerhana Terakhir, 132)

at 8:35 PM 4 comments

  • didats