Thursday, November 22, 2007

Jalan

Dulu aku tidak mencintainya, semua berawal dari keterpaksaan. Keputusasaan tepatnya! Dan aku sudah meninggalkannya tiga kali agar dia membenciku. Tapi dia selalu menerimaku dengan hati yang sama. Lalu alasan apa lagi yang harus kuucapkan bila meninggalkannya? Tiga kali aku pergi dan kembali lagi, cukup sebagai tanda kalau aku membutuhkannya.


Hatinya memang sederhana, tapi dialah rumah terindah yang mampu menaungiku dengan kedamaian, meski baru belakangan ini aku menyadari hal itu. Rasanya tak salah kalau kuputuskan untuk tetap bersamanya. Usia sudah melambatkanku, gerakku sudah tidak segesit dulu. Tatapan mataku tidak setajam dan sedalam dulu. Semua sudah berubah, ya, semua sudah berubah.



Setelah sekian tahun, apakah kedatanganmu untuk mengacaukan hidupku? Aku tidak menampik adanya keinginan untuk kembali bersamamu. Merasai cinta sebenar, cinta yang selama bertahun-tahun kita pendam dan hanya menjelma dalam mimpi. Menuntaskan hasrat yang selama ini kuhadirkan pada sosok dirinya. Bayangan eksotis itu terus merajam pikirku sejak dua hari lalu, saat kuterima balasan suratmu dan kau mengatakan akan datang.


Aku mematut diri cukup lama, semua menjadi serba salah dan membingungkan. Aku seperti anak belasan tahun yang sedang menyambut kencan pertama. Penuh sensasi yang mendebarkan! Tak berani kubayangkan bagaimana reaksimu nanti saat bertemu.


Pelayan sedang mengisi cangkir tehmu untuk kedua kali saat aku duduk didepanmu, sengaja aku datang agak lambat. Aku ingin merasakan getaran rindu yang membuncah saat menunggu detik-detik pertemuan ini. Kau berdiri menyambutku dan menjabat tanganku hangat. Genggaman tanganmu mampu memiaskan kedua pipiku.


Waktu juga telah merubahmu, warna rambutmu sudah kelabu, sosok tegasmu terbungkus senyum sopan yang menentramkan. Ah, tiba-tiba aku begitu merasa bersalah! Dulu, aku seringkali membuatmu harus menahan amarah karena tingkah kekanakanku.


Lalu kau menanyakan padaku-menegaskan tepatnya- apakah aku bahagia dengan hidupku? Apakah aku menderita seperti yang terlukis dalam surat terakhirku? Ah, perhatianmu selalu berlebih. Meski kau tahu, aku tak lagi sendiri. Dalam hati, kusalahkan diriku yang lancang menulis surat seperti itu.


Aku memang pernah mencintaimu, sangat. Berharap kaulah pasangan jiwa yang menyempurnakan hidupku. Tapi cinta tak bisa kita kekang dan kita atur semau kita. Dulu perasaan itu begitu menguasai, kini perasaan itu perlahan pergi dari hatiku. Dan aku harus tegaskan padamu bahwa apa yang terjadi pada masa lalu adalah milik masa lalu. Dan aku tidak ingin hidup untuk masa lalu.


Aku tak akan bertanya pada takdir yang tidak menyatukan kita. Tak usah lagi kusesali kepergianku darinya sebanyak tiga kali karena mencari kebenaran cinta. Pencarian itu telah mengajarkanku banyak hal dan cinta darimu memang bukan yang terbaik!


Kini kita punya jalan berbeda, beberapa tahun lalu kita dipisahkan karena cinta. Sekarang kita bertemu untuk mempertanyakan cinta itu. Dan aku sudah memutuskan; sejak hari ini kita tetap berada di jalan yang berbeda itupun karena cinta.

at 1:35 AM

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

dyuhhhh.......sedih selalu baca blog mu mas...selalu cinta..cinta dan cinta
*hallah, ngmong opo to iki aku*

7:08 PM  
Anonymous Anonymous said...

Kenapa sih sedih selalu... tapi yang paling pasti, setiap kata & ayat yang kau susun, tidak pernah membosankan malah aku jadi addicted tuk wajib membaca blog mu setiap hari...

7:08 PM  
Blogger Unknown said...

horeeeeeeeeeee, ending yang bagusssssssssssssssssss aku suka kesetiaan,

5:32 PM  

Post a Comment

<< Home

  • didats