Wednesday, December 05, 2007

Rumah Berpagar Mawar

Aku
Ada yang tidak bisa kukabarkan padamu, tentang keinginan terbesarku disisa hidup. Saat harapan menjadi sesuatu yang mushil, saat menggerakkan bibir untuk tersenyum seperti menarik gulungan luka yang kusut. Kejujuranku akan menjadi pedang bermata dua bagimu, terlebih bagiku.
Aku masih menguatkan diri untuk tidak luruh didepanmu, untuk tidak menampakkan carut marut hatiku karena derita yang kini kau tanggung. Aku harus berpura-pura mempunyai dua hati, membangkitkan gairah hidupmu yang sudah di titik nadir.
Semoga kau tak pernah tahu, saat ini hidup adalah mukjizat yang kuharapkan berlaku untukku. Saat kau harus berjuang untuk tetap hidup, aku sedang bersiap untuk mati dengan ikhlas. Tuhan rupanya memberiku keistimewaan, untuk tahu kapan kira-kira aku harus menyerahkan hidup kepada Sang Pemberi Hidup.
" Kau melamun." bisikmu, berusaha keras menggenggam tanganku," Aku tidak sudi dikasihani."
" Siapa yang mengasihimu." jawabku," Aku sudah kehabisan air mata, aku sudah belajar untuk hidup sendiri tanpamu."
" Huh..pasti kau akan buru-buru mencari penggantiku begitu aku mati." sungutmu kesal.
Aku akan menciummu dan membiarkan kau memelukku lama, " Apakah kau ingin selama hidupku aku hanya menangisi kepergianmu?"
" Tidak, kau harus melanjutkan hidupmu! Melanjutkan mimpi-mimpi kita untuk punya rumah mungil di atas bukit dengan kebun mawar beraneka warna."
Aku hanya mengangguk, kelu lidahku. Mengatakan "iya" berarti berbohong meskipun anggukan sama saktinya dengan kata-kata persetujuan, tapi itu kulakukan agar membuatmu tenang.
Kau biasanya tertidur setelah melihat anggukan kepalaku. Aku akan tinggal satu atau dua jam, memastikan bahwa tidurmu akan nyenyak. Dan aku akan beringsut tanpa lepas memandangmu, dengan genangan airmata! Aku pergi.........Tuhan akan menjagamu!
Kau
Kamboja sudah meranggas, luluhan bunga putih menyebar di pusaramu. Harum dan menyebarkan haru. Aku duduk terpekur dengan doa tak berkata. Seribu kisah kita mengalir indah di benakku, membuatku menangisi kebahagiaan karena pernah mencintaimu.
Aku yang seharusnya pergi, bukan kau! Mengapa derita serupa itu kau simpan sendiri? Apakah aku bukan belahan jiwa yang berhak merasakan derita yang sama?
Pandangku beralih ke bukit. Kosong dan belum satu rumahpun berdiri disana. Aku berjanji akan membangunnya untukmu. Mengelilinginya dengan bunga mawar kesukaanku. Tuhan, bantu aku mewujudkannya!

at 6:17 PM

1 Comments:

Blogger imgar said...

mmm...

5:09 AM  

Post a Comment

<< Home

  • didats